Rabu, 08 Februari 2012

Cerpen Remaja : Anita yang Tak Ingin Menjadi Baru


“Tolong! Tolong!”
Anita berteriak-teriak panik. Berkat kerjaan tangan tugas Seni Rupanya, rambutnya tersemprot lem tembak dan terjadi kekacauan besar karena lengketnya bukan main. Dengan tergesa-gesa ia mencari wastafel dan mulai mencuci. Rambut lurus tanpa modelnya langsung keriting-keriting nggak jelas plus berlumur cairan bening adesif yang menyebalkan. 

Sekolah sudah sepi. Ia sendirian, terpekur di wastafel, mencuci rambutnya keras-keras, namun tidak berhasil.
Lantas datang seorang cowok bergaya slengean melihatnya. Dia sempat ngeri lantaran rambut panjang Anita menutupi setengah dari wajah cewek tersebut. Takutnya dia roh halus lagi nyamar.
Anita sama histerisnya saat muncul bayangan orang di cermin. Spontan ia menjerit-jerit, sampai cowok tersebut mesti membungkamnya!

Seumur hidup, sepertinya Anita benar-benar hidup tanpa variasi. Nilai sekolahnya nggak merah, tapi nggak gemilang juga. Seragamnya selalu dipakai sesuai peraturan tanpa aksesoris tambahan. Sikap duduknya baik, seperti kursi. Tegak lurus! 

Tapi yang paling menonjol darinya ialah model rambut. Dari awal SD sampai sekarang, rambut Anita hanya lurus saja, belah tengah, disisir lurus, digerai. Titik. Selamanya begitu. Nggak ada salahnya, sih. Cuma, beberapa orang jadi agak kasihan sama dia. Tidakkah dia bosan? Pasti jenuh kan, hidup tanpa pernah mencoba gaya rambut baru!
Anita tak pernah bergeming terhadap komentar mereka. Dia ogah berbuat aneh-aneh. Semua harus aman terkendali! Itulah prinsipnya.

Rambut Anita kacau balau. Setengah bagian dari seperempat geraiannya berlumur lem tembak. Uh! Coba tadi dia sedikit lebih hati-hati, pasti lemnya nggak nyasar!
Cowok tadi, bernama Marlo, mati-matian menahan tawa. Habis, cewek yang biasanya datar ini begitu heboh!
“Duh, gimana ya?” Anita kelimpungan sendiri. Nyaris nggak peduli dengan tampang konyol Marlo. “Pakai sabun juga nggak mempan!”
“Sekalian aja dicuci di mesin!” Marlo tak kuat lagi menyimpan geli.
“Bukannya bantuin, malah ngeledek!”
“Cuma berusaha jujur, Nit.”
“Sok akrab deh! Namaku Anita, bukan Nit. Memang tombol telepon apa, nit-nat-nit-nut?”
Tawa Marlo pun meletus bak Gunung Merapi. Anita lucu kalau lagi panik!
“Nama saya siapa, coba?” Marlo iseng menguji Anita si jarang gaul. Kadang-kadang Anita suka lupa nama guru. Siapa tahu nama teman sekelas pun lupa.
“Lupa!” jawab Anita jujur. Masih memikirkan nasib rambut indahnya.
“Nama saya Marlo, bukan Lupa! Gimana sih?” 

Anita dongkol. Dia pun meninggalkan si Marlo asyik ngakak-ngakak. Biarin ah! Dia tidak akan pernah menolong Anita! Marlo si berantakan tukang bikin kacau kelas. Kerjaannya nggak penting. Ngerjain guru, ngusilin kawan-kawan satu kelas, ngajak semuanya kompak bilang lupa PR. Dia orang pertama yang menyadari bahwa Anita nggak pernah ganti gaya rambut dan dia selalu membesar-besarkan masalah ini.
Sekarang ia memanggil-manggilnya sok akrab, lagi.
“Nit! Tunggu! Saya bisa bantu kamu. Serius.”
Anita malas nengok. 

“Percaya deh sama Marlo! Sini!”
Anita siap mengambil langkah seribu. Namun Marlo sudah menghampirinya. Bawa gunting. Mata Anita mendelik. Edan! Mau diapain nih?
Marlo nyengir. “Gini-gini, saya anak ahli gunting rambut, lho.”
Perut Anita mulas mendengarnya. Gunting...rambut?

Kadang ada orang yang sulit dianalisis. Contohnya nih, si Marlo. Kelakuannya acakadul (menurut Anita). Mirip monyet ketemu habitat! Cuma kalau diperhatikan, tangannya sangat rapi. Buku pelajarannya nggak menyerupai sayur asin sama sekali. Caranya memakai seragam pun sebetulnya tertib. Bahkan tulisannya bagus!
Anita duduk pasrah di kursi, menghadap cermin wastafel. Marlo berada di belakangnya, sedang menyisiri rambutnya penuh kecermatan. Cowok ini menyibak keseluruhan rambut Anita menjadi dua bagian. Depan dan belakang. Bagian depan yang bagian ujung bawahnya sudah rusak parah gara-gara lem permanen. Anita merinding. 

“Rambutmu bagus, Nit,” komentar Marlo sudah persis ibunya—pemilik salon sekaligus ahli tata rambut. “Keramas pakai apa?”
“Sampo. Masa pakai sabun cuci piring? Itu mah pembantunya temenku. Keramas pakai sabun cuci piring.”
Marlo melotot. “Masa?”
“Temenku sendiri kok yang bersaksi.”
“Temen yang mana, Nit?”
“Temen sebangkuku.”
Marlo tersenyum kecil. Rupanya ngobrol juga si Anita sama teman sebangkunya.
“Nit, rambutnya sedikit ganti gaya nggak apa-apa ya?”
Sebenarnya sih apa-apa! Anita sampai berpikir akan keramas pakai sabun cuci piring saja—siapa tahu ngefek. Namun entah mengapa, ia juga lelah memikirkan cara kabur. Ia menghela nafas. Sekonyong-konyong Marlo pun memegang kedua pundak Anita. “Jangan tegang, Nit. Nggak bakal botak, nggak. Paling jelek juga gundul, lah.”

Entah keturunan siapa, Anita memang sangat statis. Marlo sering membayangkan seperti apa sifat orang tua cewek ini, cuma nggak kebayang. Apakah keluarganya juga statis?
Akhirnya, waktu bagi rapor tengah semester kemarin, Marlo memperhatikan baik-baik semua orang tua yang datang untuk diajak bicara oleh wali kelas (berhubung saat itu tahun pertama SMA). Pungguk dicinta bulan tiba, Marlo menemukan Anita bersama sepasang dewasa berwajah gembira. Ibunya meriah, berdandan cukup tebal tapi enak dilihat, bajunya berwarna terang. Ayah Anita sendiri berkemeja hijau muda bermimik penuh tawa. Pokoknya, kalau dirancang secara komikal, kesannya ayah-ibu Anita dibuat berwarna, sedangkan Anita hitam putih abu-abu doang. 

Jangan-jangan ini anak risih sama orang tuanya yang kayak karnaval, sehingga dia memutuskan untuk tetap abu-abu supaya tampak lebih bermartabat? Begitulah pikiran Marlo.

“Orang tua kamu kerjanya apa?” Marlo berbasa-basi dengan 'korban' salon dadakannya.
“Ayah punya peternakan anjing Golden Retriever. Ibu event organizer.”
“Wah, kerjaannya keren! Orang tuamu asyik, deh, Nit.”
“Ah, konyol gitu. Nggak terdengar seperti profesi.”
Deg! Marlo syok mendengar kata-kata tajam Anita. Nih anak standar hidupnya setinggi dan selurus apa, sih?
“Menurutmu, kerjaannya yang terdengar seperti profesi apa, Nit?”
“Ya kerja kantoran. Apa kek. Sekretaris. Administrasi. Direktur.”
Anita berkata diiringi gemetar melihat rambutnya disisir lurus ke depan oleh Marlo, dan pisau gunting menyentuhnya. Menakutkan! 

“Kamu pingin hidup kayak apa sih, Nit?”
“Hidup yang lurus. Nggak aneh-aneh. Cukup itu aja.”
“Tapi soal rambut boleh dong, aneh-aneh sedikit?”
Kres! Sejumlah rambut hitam Anita melayang ke bawah. Hatinya mencelos. Habislah. Tamat. Hidupnya tak akan pernah sama lagi. Anita memilih memejamkan matanya. Sekalian biar nggak histeris setiap kali rambutnya terpangkas.
Marlo tersenyum melihat muka tegang Anita itu. Dalam hati ia berjanji bahwa hasil akhirnya harus membuat Anita terkesima!

Anita sering baca majalah, kok. Dia tahu, gaya rambut di dunia ada macam-macam. Kadang-kadang timbul keinginan untuk mencoba—tapi dia selalu mengurungnya. Sebelum mendekati perubahan, ia akan langsung diganggu oleh pikiran-pikiran seperti 'nggak cocok', 'kurang bagus', 'aneh'...dan terbayang olehnya muka orang lain kalau melihatnya nanti.
Akhirnya, seumur hidup ia tetap dengan rambut lurus belah tengah itu.
Melihat kawan-kawannya seenak perut gonta-ganti, ia bersikap kritis. Ia selalu merasa wajah dan gaya rambut tuh harus pantas. Alhasil, ia hanya bisa iri pada keberanian teman-temannya gonta-ganti gaya rambut—cocok nggak cocok.

Sebelum menyuruh Anita membuka mata, Marlo mengagumi karyanya dulu. Ditatapnya wajah Anita yang masih merem; sampai ia curiga jangan-jangan ini cewek ketiduran.
Poni lurus buatan Marlo menutupi sebagian besar kening Anita yang manis. Cowok ini bangga sendiri.
Sip! Sekarang waktunya menunjukkan hasil terbaik pada Anita. Marlo agak curiga dia akan marah-marah, panik, atau pingsan (ah, berlebihan). Tapi seorang maestro harus tegas!
“Nit, buka mata.”

Anita membuka matanya perlahan seakan jika ia membelalak akan terdapat mimpi buruk. Ia menatap ke cermin dan sekilas melotot terkejut.
Namun di hatinya terciprat kegembiraan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sebelum sempat ditahan, senyum lebar telah berbunga di mukanya. Senang rasanya melihat barang baru: poni. Selain itu, entah dari mana datangnya, Anita merasa jauh lebih manis dan cantik tanpa sanggup menyangkal lagi.
Marlo langsung nyambar, “Puas, Nit?”

Anita mengangguk tanpa banyak malu-malu. Marlo nyengir dan menyimpan guntingnya. “Cantik kok kelihatannya,” ujar si tukang gunting rambut.
Daya Anita untuk berpikir negatif mendadak lenyap. Ia cuma berhasil tersenyum lagi. Diucapkannya sepatah kalimat, “Makasih ya, Marlo.”
“Ah, nggak masalah. Saya seneng bisa bantu. Lagian kamu senyum! Anita kan senyumnya mahal!”
Anita menunduk malu.

Seisi kelas memuji Anita. Maka ia bercerita mengenai sejarah pergantian gaya rambutnya. Dikatakannya mengenai lem dan Marlo. Cowok itu menyelamatkannya dari rambut rusak permanen sekaligus ketakutannya untuk mengubah sebagian dari hidupnya. Sepertinya ia bakal botak kalau Marlo tak menolongnya.
Menguping diam-diam obrolan Anita dan cewek-cewek, Marlo senyum sumringah. Bangga!


wahhhh Keren neechhh cerita yang di buat temen kita tentang Si anita yang tak ingin berubah gara2 rambut ,..

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More